Mengajarlah dengan hati bukan dengan piti


    Mungkin kita sering mendengar ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa yang di peruntukan bagi guru-guru di Indonesia, atau ungkapan bahwa guru harus ikhlas mengajar dan jangan mengharapkan pamrih. Sekilas memang ungkapan-ungkapan tersebut terdengar sedikit klise karena kenyataannya sekarang guru sudah mendapatkan banyak tanda jasa (kesejahteraan) dan kerena guru sudah disepakati sebagai profesi yang professional maka tidak bisa guru mengajar hanya mendapatkan ucapan terima kasih tanpa imbalan professional lainnya. Walaupun juga tidak bisa dipungkiri karena besarnya bangsa Indonesia, masih banyak juga guru-guru khususnya di daerah terpencil dan pedalaman yang belum mendapatkan imbalan professional. Imbalan professional yang dimaksud adalah tunjangan-tunjangan yang melekat pada guru yang sudah tersertifikasi sebagai guru professional sesuai UU guru dan dosen.

Namun di lapangan, dengan imbalan profesional yang didapatkan oleh guru tidak sedikit guru-guru yang lupa dengan prinsip mengajarnya sewaktu belum mendapatkan imbalan professional yaitu mengajar dengan ikhlas dan menghadirkan segenap jiwa dalam mendidik peserta didiknya, hal yang sama juga terjadi pada guru-guru sekolah swasta yang berbiaya mahal.

Ketika pemerintah menghitung pengeluaran untuk membayar tunjangan-tunjangan guru, maka dibuatlah aturan atau system yang menuntut peningkatan kinerja guru dan memang sudah seharusnya pemerintah menuntut peningkatan kinerja. Namun disisi lain guru-gurupun juga mulai menghitung kerja-kerja yang dilakukan atau jerih payah yang dikeluarkan dengan imbalan yang didapat, hal ini bisa terjadi kerena munculnya persepsi psikologis di benak guru bahwa jika kinerja sudah dituntut maka wajar jika guru menuntut pamrih.

Dampaknya adalah bermuara kepada layanan pendidikan khusunya terhadap peserta didik. Di sekolah, guru-guru yang sudah mulai menghitung pamrih tadi bekerja tidak bedanya seperti karyawan di perusahaan, kaku dalam melaksanakan aturan-aturan sekolah misalnya seperti datang yang penting tidak terlambat, mengajar yang penting hadir di kelas, adminstrasi yang penting lengkap dan aktivitas lainnya dimana aktivitas tersebut dilaksanakan hanya sekedar mengugurkan kewajiban saja tapi minim kehadiran jiwa, semangat, hasrat dan sepenuh hati untuk mencerdaskan peserta didiknya.

Minimnya kehadiran hati dapat dilihat pada guru-guru yang dengan mudah menjustifikasi peserta didiknya tidak bisa mengikuti pembelajaran padahal bisa jadi gurunya yang salah mengajar atau minimnya upaya untuk menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik artinya guru tersebut mengajar hanya menjalankan rutinitas saja. Bisa juga ditandai dengan tidak adanya perasan gelisah atau bersalah ketika peserta didiknya belum berhasil menuntaskan pembelajaran

Kesimpulannya, kehadiran kesejahteraan bagi guru memang bukan penentu utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, perlu dilakukan upaya-upaya lanjutan untuk menjaga motivasi dan kesungguhan hati guru-guru di Indonesia dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa Indonesia.

jadi mengajarlah dengan hati jangan hanya dengan piti.

Tinggalkan komentar